Linikaltim.id. SAMARINDA. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Ahmad Vananzda, kembali menyuarakan kritiknya terhadap proses relokasi Pasar Subuh. Menurutnya, relokasi itu dilakukan tanpa komunikasi yang memadai dan penuh unsur pemaksaan.
Dalam pernyataannya, ia menanggapi klaim pemerintah melalui Asisten II Sekretariat Daerah (Setda) Samarinda, Marnabas Patiroy. Bahwa pemkot telah menjalin komunikasi selama satu setengah tahun dengan para pedagang.
Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu, fakta di lapangan justru menunjukkan bahwa pendekatan persuasif belum benar-benar dilakukan.
Ahmad mengaku menerima informasi dari para pedagang hanya sehari sebelum pembongkaran lapak dilakukan pada 8 Mei lalu.
la pun langsung turun ke lokasi pada dini hari, berupaya mencegah tindakan yang menurutnya terlalu tergesa-gesa.
“Saya sudah di lokasi subuh-subuh, niatnya ingin minta penundaan. Bukan melarang relokasi, tapi caranya jangan seperti itu,” kata Ahmad Vananzda di Kantor DPRD Samarinda, Kamis (15/5/2025).
Ia menyoroti ketidakseimbangan jumlah petugas dan pedagang yang tersisa. Dari total 64 pedagang, disebutkan bahwa hanya sekitar 8 orang yang belum bersedia pindah. Namun, untuk menghadapi segelintir pedagang tersebut, pemerintah mengerahkan Satpol PP, polisi, bahkan unsur TNI.
“Bayangkan, delapan orang pedagang dilawan dengan kekuatan penuh. Ini kan bukan kondisi perang,” tegas Vananzda.
Menurutnya, pendekatan kekuatan bukanlah solusi bijak. Apalagi para pedagang sebenarnya bersedia pindah jika diajak berdialog secara manusiawi.
Ia menyayangkan tindakan aparat yang cenderung arogan, tanpa membuka ruang komunikasi yang bisa menjadi jalan keluar yang damai.
Vananzda mempertanyakan efisiensi anggaran dalam operasi pembongkaran tersebut.
“Itu lahan pribadi, bukan aset negara. Relokasi bisa dilakukan dengan tenang. Operasional pembongkaran kemarin pun pasti tidak murah. Ini justru merugikan secara finansial dan mencoreng citra pemerintah,” tambahnya.
Ahmad mengungkapkan bahwa ia siap turun langsung membantu proses relokasi jika memang ada koordinasi yang baik.
Dia yang memiliki kedekatan dengan warga sekitar, menjamin bisa menjadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan pedagang. Sayangnya, kesempatan untuk mediasi tersebut tidak diberi ruang.
Ia berharap ke depan, pemerintah kota bisa lebih terbuka terhadap masukan dari masyarakat dan wakil rakyat. Menurutnya, solusi terbaik hanya bisa dicapai jika seluruh pihak duduk bersama, saling mendengar, dan mencari titik temu yang adil serta manusiawi.
Ahmad Vananzda menegaskan bahwa kritiknya bukan bentuk penolakan terhadap kebijakan, melainkan panggilan untuk menghadirkan keadilan sosial dalam setiap proses penataan kota.
“Kalau hanya delapan pedagang bisa membuat pemerintah kehilangan akal sehat dan empati, maka ada yang salah dalam cara kita memimpin,” tutupnya. (*)