Pentas Tahunan Teater Yupa Unmul, Kritik Sosial dari Panggung Kampus

Potongan adegan yang diabadikan Teater Yupa saat pementasan tahunan beberapa waktu lalu. (Foto : dok. Teater Yupa).

Linikaltim.id. SAMARINDA. Dalam dua malam penuh tepuk tangan pada 30–31 Mei 2025. Teater Yupa dari Universitas Mulawarman (Unmul) sukses memukau penonton lewat pementasan tahunan bertajuk Buku Teater. Di tengah derasnya arus hiburan digital, pertunjukan ini hadir sebagai napas segar dan ruang refleksi yang menyoroti isu kesenjangan sosial di Indonesia.

Lebih dari sekadar pertunjukan seni, Buku Teater menjelma menjadi panggung kesadaran kolektif. Tiga babak yang diusung menyentil berbagai bentuk ketimpangan: eksploitasi buruh, akses pendidikan yang timpang, hingga terkikisnya empati di era individualisme kota.

Bacaan Lainnya

Babak pertama menggambarkan kerasnya hidup buruh pabrik yang terhimpit sistem dan kuasa pemilik modal.

Babak kedua menyentuh realitas pahit dunia pendidikan: mahalnya akses dan ketimpangan kualitas yang masih menghantui anak-anak dari keluarga kurang mampu.

Sementara babak terakhir mengangkat kegersangan relasi sosial dalam masyarakat urban yang kian terisolasi meski hidup berdekatan.

“Lewat panggung ini, kami ingin menunjukkan bahwa kesenjangan itu nyata. Dan semua orang, terutama generasi muda, perlu sadar dan peduli,” kata Bintang Samudra, sutradara pementasan.

Penonton, yang didominasi mahasiswa, merespons positif. Banyak di antara mereka baru pertama kali menonton teater secara langsung, namun merasakan kedalaman pesan yang disampaikan.

“Ini keren banget. Nontonnya bikin mikir dan terbuka wawasannya,” ujar Mozza, penonton muda. Sementara Tasya menyoroti kuatnya pesan tentang ketimpangan gender dan politik. “Relate banget dengan kondisi sekarang,” katanya.

Teater Yupa, yang telah berdiri sejak 1991, memang dikenal konsisten mengangkat tema tema sosial dan kemanusiaan. Melalui Buku Teater, mereka tidak hanya menampilkan pertunjukan, tapi juga membuka ruang diskusi, kontemplasi, bahkan mungkin perubahan.

“Kami percaya teater bisa jadi medium untuk bicara hal-hal besar dengan cara yang menyentuh,” tutupnya.

Di tengah hiruk pikuk dunia modern, pementasan ini menjadi pengingat seni tak pernah kehilangan daya untuk menyentuh hati dan menggugah nurani. (*)