Anggota DPRD Samarinda Ismail Latisi Dorong Pemerataan Formasi Guru

Anggota DPRD Samarinda Ismail Latisi. (Foto : ist)

Linikaltim.id. SAMARINDA. Meski pendidikan di Samarinda terus menunjukkan progres positif, realitas di wilayah pinggiran menunjukkan sebaliknya. Kekurangan guru dan keterbatasan infrastruktur masih membayangi sekolah-sekolah pinggiran. Misalnya, daerah Palaran, Samarinda Seberang, Samarinda Utara dan kawasan perbatasan lainnya.

Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Ismail Latisi, menyatakan bahwa ketimpangan ini bukan isu baru. Namun belum kunjung ditangani secara sistematis.

Bacaan Lainnya

“Banyak sekolah hanya punya dua atau tiga guru untuk mengajar enam kelas. Ini darurat, tapi kita terhalang moratorium tenaga honorer dari pusat,” kata Ismail Latisi dalam sebuah wawancara di Kantor DPRD Samarinda, beberapa waktu lalu.

Kondisi diperparah oleh terbatasnya formasi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dari Pemerintah Pusat. Penerimaannya tidak sebanding dengan kebutuhan di lapangan. Sementara itu, jumlah guru pensiun terus bertambah tiap tahun.

“Sekolah-sekolah di pinggiran dipaksa bertahan dengan sumber daya minim. Beban guru bertambah, kualitas pembelajaran terancam,” ujarnya.

Tak hanya kekurangan guru, banyak sekolah juga menghadapi fasilitas yang tidak layak. Ruang kelas rusak, buku pelajaran terbatas, akses internet minim, dan alat bantu belajar berbasis teknologi nyaris tidak tersedia.

Ironisnya, sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang semula bertujuan untuk pemerataan justru membuka ketimpangan itu semakin lebar.

“Zonasi itu adil kalau semua sekolah punya kualitas setara. Tapi kalau sekolah pinggiran tertinggal jauh, itu bukan pemerataan itu pembiaran,” tegas politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Dia mendesak Pemkot Samarinda untuk memperkuat koordinasi dengan kementerian terkait. Demi memperjuangkan formasi guru yang sesuai kebutuhan riil.

Tak hanya itu, insentif khusus bagi guru di daerah pinggiran juga perlu diberikan. Berupa tunjangan tambahan, bantuan transportasi, hingga kepastian jenjang karier.

“Guru-guru di daerah terpencil adalah pahlawan pendidikan. Mereka butuh dukungan nyata, bukan hanya semangat,” katanya.

Ismail menegaskan bahwa kesenjangan pendidikan adalah ancaman serius bagi masa depan generasi Samarinda. “Kalau kita ingin semua anak punya kesempatan yang sama, maka tak boleh ada yang tertinggal hanya karena mereka lahir jauh dari pusat kota,” pungkasnya. (adv/dprdsmr)

Pos terkait