Samarinda Darurat Kekerasan Perempuan dan Anak, DPRD Minta Penanganan Total

Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Sri Puji Astuti.

Linikaltim.id. SAMARINDA. Kota Samarinda mencatat angka tertinggi kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur (Kaltim). Hingga Maret 2025, tercatat 50 kasus terjadi di ibu kota provinsi ini. Dewan Perwakilan Rakyat Darah (DPRD) Samarinda pun mendesak pemerintah agar menangani ini dengan menyeluruh, tak hanya di kota, tapi hingga ke desa dan kelurahan.

Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menyebut tingginya angka kasus bukan hanya cerminan buruknya kondisi sosial. Tetapi juga menandakan meningkatnya keberanian masyarakat untuk melapor.

Bacaan Lainnya

Namun, ia menegaskan bahwa keberanian melapor harus diimbangi dengan penyelesaian kasus yang tuntas.

“Jangan sampai masyarakat sudah berani melapor, tapi tidak ada penyelesaian. Itu bisa jadi bom waktu,” kata Sri Puji Astuti diwawancarai Rabu (14/5/2025).

Ia meminta pemerintah tak hanya fokus pada data dan pelaporan. Tetapi juga memberikan perlindungan nyata kepada korban. Edukasi kepada masyarakat dinilainya sebagai kunci agar sistem perlindungan berjalan efektif.

“Sistem dan regulasi sudah ada, tapi kalau masyarakat tidak paham, tetap tidak akan efektif,” jelas politikus Partai Demokrat itu.

Sri juga menekankan pentingnya pendekatan komprehensif. Mulai dari penguatan regulasi, peningkatan peran masyarakat, hingga pembenahan kelembagaan perlindungan korban.

Di sisi lain, angka sebenarnya juga berkaitan dengan tingginya populasi Samarinda. Namun, Sri menilai ada sisi positif dari meningkatnya kesadaran masyarakat dan terbukanya akses pelaporan.

“Dulu banyak kasus tersembunyi. Sekarang, masyarakat lebih sadar dan berani melapor. Itu perkembangan baik,” ujarnya.

Meski pemerintah telah menyediakan rumah aman melalui UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak, Sri menilai fasilitas tersebut belum ideal. Lokasi yang kurang strategis dan fasilitas pendukung yang minim menjadi catatan penting.

“Rumah aman harus benar-benar steril, punya keamanan, dan akses langsung ke layanan kesehatan, pendidikan, dan sosial. Itu penting untuk pemulihan korban secara menyeluruh,” pungkasnya. (adv)

Pos terkait