Linikaltim.id. SAMARINDA. Suasana tegang. Adu argumen. Hingga berkali-kali ricuh mewarnai penutupan Pasar Subuh di Jalan Yos Sudarso pada Jumat (9/5/2025) pagi. Dengan tangan kosong, para pedagang bersama mahasiswa dan lembaga bantuan hukum (LBH) harus berhadapan dengan sejumlah aparat berbekal tameng dan kayu panjang.
Hadir sebagai penengah Ahmad Vananzda, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Samarinda. Dia memohon agar relokasi ditunda untuk pertemuan dan bahasan solusi lain. Menurutnya penundaan itu tidak akan merugikan negara. Namun, Pemerintah Kota Samarinda (Pemkot) bulat memutuskan relokasi.
Relokasi pedagang Pasar Subuh ke Pasar Beluluq Lingau (Pasar Dayak) bilangan Jalan PM Noor dinilai pedagang tanpa berdialog.
Ketua Paguyuban Pasar Subuh Samarinda, Abdus Salam, menyampaikan bahwa sosialisasi dalam bentuk komunikasi atau pertemuan formal tak pernah dilakukan. Menurutnya, para pedagang siap untuk ditata dan didata ulang, selama tidak dipindahkan.
Dia menyayangkan aksi penutupan pasar yang dianggap mendadak dan intimidatif. “Mayoritas pembeli kami dari etnis Tionghoa, mereka khawatir kalau ada keributan, jadi takut berbelanja,” ujarnya di lokasi penertiban.
Para pedagang menyatakan bahwa mereka memiliki kartu usaha yang diterbitkan oleh kelurahan yag terbit sejak tahun 2011. Sistem pembayaran lapak di lokasi juga berlangsung secara informal. Pedagang mengaku membayar kepada pemilik lahan, bukan kepada paguyuban atau pemerintah.
Paguyuban hanya mengelola dana untuk kegiatan internal seperti kerja bakti. Sebelum adanya kabar relokasi, hubungan antara pedagang dan pemilik lahan berjalan baik, termasuk dalam hal komunikasi pembayaran.
Setelah ada surat relokasi, para pedagang berunjuk rasa di Balai Kota Samarinda. Dalam pertemuan dengan Kepala Dinas Perdagangan, Bu Yama, dan pejabat lain, pemerintah tidak dapat memberikan jaminan kesejahteraan pedagang di lokasi baru. Hal ini semakin menguatkan kekhawatiran pedagang bahwa relokasi bukan solusi yang menjamin keberlanjutan usaha mereka.
Fatih, pendamping hukum dari LBH, menegaskan bahwa sebagian besar pedagang memiliki hubungan hukum sewa-menyewa dengan pemilik lahan, dan banyak yang telah berjualan selama puluhan tahun. Ia juga menyatakan ada indikasi tekanan terhadap pemilik lahan untuk menyetujui relokasi. “Status pedagang di sini legal, secara kedudukan atas lahannya,” katanya.
Ibu Aris, pedagang yang sudah berjualan sejak 1991, mengungkapkan bahwa dirinya dan pedagang lain yang berjualan di luar bangunan pasar juga terancam dipindahkan. Meskipun mereka berdagang di atas lahan pribadi dan sudah mengikuti aturan. Misalnya soal mundur lima meter dari batas took, sesuai arahan. Ia menyayangkan sikap pemerintah yang tetap memaksakan relokasi, bahkan melibat polisi, TNI, dan Satpol PP.
Mereka menilai, jika dipindahkan, pasar akan kehilangan daya tarik. Para pedagang akan kehilangan mata pencaharian yang telah ditekuni secara turun-temurun. Hingga saat ini, para pedagang masih bertahan dan menunggu penyelesaian yang adil dari pemerintah. (*)