Sri Puji Astuti DPRD Samarinda Kritisi Hambatan Pelestarian Budaya Samarinda

Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Sri Puji Astuti.

Linikaltim.id. SAMARINDA. Wakil Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, Sri Puji Astuti menyoroti lemahnya pelaksanaan program pembinaan dan pelestarian budaya di Kota Tepian.

Menurut Politikus Partai Demokrat ini, sejumlah kendala mendasar menjadi penghambat, mulai dari keterbatasan sumber daya manusia (SDM), regulasi, infrastruktur, hingga dukungan anggaran.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan pantauan kondisi saat ini, Puji menyebut, banyak cagar budaya, rumah adat, hingga museum di Samarinda yang pengelolaannya belum maksimal.

“Kalau kita bicara roadmap kebudayaan kota Samarinda, masih jauh dari kata ideal. Hambatannya sangat kompleks,” ujarnya dalam Rapat Hearing bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Samarinda, Rabu (10/9/2025).

Puji mencontohkan, salah satu kendala utama dari sisi SDM. Dari sekitar 38 bidang keahlian yang dibutuhkan dalam bidang seni dan budaya, Samarinda hanya memiliki empat tenaga ahli.

“Kita butuh pamong, ahli seni, ahli musik, ahli keramik, bahasa, budaya, dan lainnya. Tapi ketersediaannya di Samarinda sangat minim,” jelasnya.

Selain SDM, masalah regulasi juga menjadi sorotan. Meski ada undang-undang yang mengatur pelestarian budaya, Samarinda belum memiliki peraturan daerah (perda) yang bisa menjadi payung hukum pelaksanaan di lapangan.

“Tanpa perda, kita sulit bergerak lebih jauh. Ini hambatan besar,” tegas Puji.

Faktor infrastruktur juga menjadi tantangan. Beberapa bangunan bersejarah yang seharusnya bisa ditetapkan sebagai cagar budaya justru banyak yang sudah dirobohkan, seperti Rumah Sakit Islam, SMPN 1, dan SMAN 1 Samarinda.

Sementara itu, rumah-rumah tua yang masih ada pun terhambat status kepemilikan karena dimiliki pribadi dengan harga tinggi, sementara pemerintah tidak memiliki anggaran untuk membelinya.

“Anggaran memang jadi masalah lain. Walaupun pelestarian budaya ini masuk urusan wajib, tapi karena bukan layanan dasar, perhatian pemerintah masih setengah hati,” tambahnya.

Tak hanya dari sisi pemerintah, Puji juga menilai partisipasi masyarakat masih rendah. Menurutnya, kesadaran warga untuk mencintai budaya lokal masih lemah, bahkan lebih senang keluar daerah ketimbang mengunjungi potensi budaya di Samarinda sendiri.

“Kalau kita tidak mencintai budaya kita sendiri, bagaimana orang luar bisa menghargai? Bahkan soal kesadaran lingkungan saja masih kurang, ini juga bagian dari karakter budaya kota yang harus dibangun,” pungkasnya. (adv/dprdsmr)

Pos terkait