Linikaltim.id. SAMARINDA. Hujan deras dalam beberapa hari terakhir kembali memicu banjir besar di Kota Tepian. Banjir besar, akses tertutup, ekonomi stagnan, ditambah lagi kejadian tragis tewas tertimbun longsor hingga terseret banjir. Kondisi ini membuka fakta lemahnya koordinasi antarinstansi dalam penanggulangan bencana.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Samarinda, M. Andriansyah, menyuarakan desakan. Dia meminta agar Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda segera menyatukan langkah lima organisasi perangkat darah (OPD) kunci. Yaitu Badan Penanggulangn Bencana Daerah (BPBD). Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim), Dinas Perhubungan (Dishub), dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Ia menegaskan pentingnya kerja kolektif yang terkoordinasi, bukan pendekatan sektoral seperti yang selama ini terjadi.
“Ini sudah waktunya semua duduk satu meja, satu peta, satu rencana. Jangan lagi jalan sendiri-sendiri,” kata Andriansyah diwawancarai Rabu (14/5/2025).
Dia menyoroti BPBD yang memiliki peta kerentanan bencana hingga ke tingkat kelurahan melalui FGD di Samarinda Utara. Termasuk rencana pembentukan tim Katana (Ketahanan Bencana). Namun, data dan rencana itu belum terintegrasi dengan kebijakan pembangunan kota.
Menurutnya, Dinas PUPR memegang peran sentral dalam urusan tata ruang, yang bila keliru justru memperburuk kondisi banjir. Sementara DLH bertanggung jawab atas pengelolaan sampah yang sering menyumbat drainase.
Di juga menyinggung Dishub yang harus menjamin akses evakuasi tetap terbuka saat bencana. Perkim juga diminta merancang permukiman yang tahan bencana.
Politikus dari partai Demokrat ini menyebut bahwa Komisi III akan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan OPD teknis, terutama PUPR. Pertemuan itu akan mengevaluasi kebijakan pembangunan kota. Ia menekankan pentingnya menggabungkan data teknis dari BPBD dengan perencanaan pembangunan agar mitigasi bencana bisa terwujud nyata.
Tak hanya dari sisi birokrasi, ia juga mendorong pelibatan akademisi dan pakar kebencanaan dalam merumuskan solusi jangka panjang. “Kita perlu pendekatan ilmiah. Jangan anggap para ahli hanya pajangan kampus,” ujarnya.
Ia menutup dengan seruan agar Pemkot tidak lagi bersikap reaktif, tetapi membangun sistem ketahanan bencana yang terintegrasi dan partisipatif.
“Banjir bukan lagi sekadar musibah musiman. Ini ancaman nyata yang butuh penanganan sistematis dan kolektif,” pungkasnya. (adv)